Rabu, 04 Mei 2011

Liang Tajuiya, Kecamatan Bontomate'ne

Kabupaten Kepulauan Selayar adalah satu pulau yang dalam sejarah geologi disebut daratan muda atau pulau yang terbentuk belakangan. Di sana terdapat beberapa titik di daratan utama yang membentuk lubang atau gua karena adanya patahan atau retakan di dalam perut pulau.
Hal ini dapat dianalisa jika melihat pola dan situasi di sekitar patahan atau longsoran muka pulau. Salah satunya adalah kolam mata air Tajuiyya yang terletak di sekitar 35 kilometer utara Kota Benteng, ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar.
Mata air Tajuiyya merupakan sumber air bagi warga dua kampung sekitarnya yaitu, Tajuiyya dan Kampung Bau.Tahun 1997 saya pernah berkunjung ke tempat ini bersama sahabat saya Kemal R. Massi. Saat itu masih sangat alami. Kami hanya berani melihatnya dari atas karena tak berani turun ke dasar kolam.
Bagi pengunjung yang pernah menapakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Selayar melalui Pelabuhan Ferry Pamatata, maka anda dimungkinkan untuk berkunjung ke liang Tajuiyya yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pelabuhan fery. Mata air yang dalam karena untuk mengambilnya warga harus menuruni anak tangga beton sebanyak 45 anak tangga. Berkelok, terjal pula. Untuk melihat airnya kita pun harus menuruni jalan batu. Letaknya di sisi utara gua. Airnya tidak terlihat dari tangga.
Saat sampai ke ujung tangga, saya masih harus menuruni batu-batu karang purba. Mesti hati-hati karena licin. Di atas gua, menggantung ribuan kelewar yang bercicit dan kepakkan sayap silih berganti. Bau amis kotorannya menyeruak ke mana. Kotoran berjatuhan di atas batu kapur. Saat menuruni bebatuan, kami melewati satu cangkang kima raksasa (jenis Tridacna gigas), panjangnya sekitar 30 centimeter. Terbalik. Sepertinya dasar gua merupakan permukaan pulau yang anjlok. Di ujung longsoran, di situlah letak mata air tersebut.
Setelah menuruni lagi hingga 10 meter, akhirnya kami sampai di sumber air. Di sisi tebing telah terpasang satu pipa besi bercat biru, diameternya kira-kira 10 cm. Di ujungnya teldapat mesin penyedot air. Tapi dasar kolam yang terisi air tidak terlihat luas. Entah jika ada terowongan bawah tanah yang menjadi kolam lanjutan tapi tidak terlihat.
Saya menaksir runtuhan batu kapur ini berdiameter sekitar 20 meter. Di ujung jatuhannya di sebelah selatan membentuk mata air. Beberapa meter dari mata air ini menjulang beberapa pohon tinggi di dalam area kolam Tinggi sekali, kira-kira 30 meter. Karena tinggi dan rimbunnya dia nyaris menutup cahaya matahari masuk ke dasar.
Di situlah warga selama ini, sedari dahulu mengambil air untuk makan dan minum. Saat saya baru saja lepas dari ujung tangga atas, seorang ibu dengan hanya mengenakan sarung batik, dengan perlahan menuruni tungga. “Dia hendak mandi, namanya Ibu Pittirik” kata Ibu Minah yang saya temui bersama saudaranya bernama Saritang. Mereka berdua terlihat kembar.
Konon, menurut seorang teman, mata air Tajuiyya ini bersambungan dengan perairan di pantai timur, atau barat Selayar. “Pernah didapati kain serupa bendera, juga daun-daun lamun” kata Sarbini, seorang kawan di Benteng mengenai mata air itu.
Bertahan Sampai Kapan?
“Sekarang musim hujan, jadi kurang air” Kata Minah. Wanita yang saya temui di sana. “Tapi mesin pengatur air menderu terus?” Kataku sambil menunjuk mesin blower yang mendistribusikan air ke dua kampung berdekatan. Rupanya, dugaan saya meleset. Mesin pompa itu melayani kampung-kampung sekitar Tajuiyya, bahkan sampai Pelabuhan Pamatata.
Kami sampai di Tajuiyya, sekitar pukul 17.00. Kami hentikan mobil tidak jauh dari pohon tinggi besar dengan diameter hingga 2 meter. “Namanya kayu erasa. Sejak saya lahir mungkin begitu memangmi besarnya” Kata Minah dengan logat Selayar kental.
“Jika dulu mengambil air di kolam sebanyak dua kali, sekali pagi sekali sore. Kini tidak lagi karena sudah ada PAM” Katanya lagi. Dahulu, dia membawa ember yang digantung di ujung kayu. Mereka bersaudara sebanyak enam orang. Di rumah, Saritang bertiga dengan ibu dan suaminya sementara Minah, suami dan anak-anaknya.. Sekarang dua anggota keluarga tersebut memanfaatkan air dengan leluasa.
“Dulu untuk ke kolam kita melewati tangga kayu, sebanyak 34 baringang” Kata Saritang. Baringang adalah anak tangga dalam bahasa Selayar. Mereka tingga di Kampung Bau, kampung yang tidak lebih dari 40 rumah. Air yang mereka ambil selama dua kali sehari itu digunakan untuk masak dan minum. Kalau mau mandi, mereka mandi di sekitar gua.
Tapi sejak dibangunnya instalasi pendistribusian air oleh PDAM setempat mereka tidak lagi mengambil air. Hanya beberapa orang yang tinggal dekat kolam seperti Pittirik tadi. “Perusahaan air ini sudah berjalan dua tahum” Kata Minah. Dia harus membayar rata-rata 13ribu hingga 15ribu sebulan. “Biaya bebannya ada 5ribu” Katanya lagi. Mereka membayar di kolektor lokal bernama Daeng Mangngai.
Ada yang menarik dari ucapan Saritang dan Minah. “Rupanya air yang diambil dari keran PAM tidak sejernih dan setawar jika mengambil langsung di kolamnya”.
“Belakangan ini airnya, mulai agak asin. Apalagi musim kemarau” Katanya. Karena itulah mereka kerap mengambil lanngsung ke dasar kolam. Sebab mereka percaya, dengan mengambil langsung itu akan lebih baik. “Jumlah pemanfaat mata air yang semakin banyak apalagi dipaksa dengan mesin penyedot pasti akan berdampak pada kualitas air” Kata Evi, warga Benteng yang menemani saya ke Tajuiyya.
Bagi saya, ada kekhawatiran teramat besar atas pemanfaatan air Tajuiyya untuk dieksplorasi oleh PDAM setempat. Penggunaan air yang terus menerus, tanpa kontrol, apalagi dengan volume besar, lambat laun akan berdampak pada ekologi setempat. Saat populasi penduduk semakin bertambah sementara sumber mata air tetap sama kandungannya dan disedot tanpa kontrol saya yakin dapat membuat labil lapisan di bawahnya dan longsor susulan dapat saja terjadi. Jika demikian siapa yang bakal dirugikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar