Senin, 16 Mei 2011

Keindahan Wisata Bahari Selayar Laris Terjual Ke Pelancong Via Internet


Keindahan wisata bahari kabupaten kepulauan selayar, memang terbilang lebih indah dari daerah lainnya di tanah air. Sebutlah jejeran pulau pulau karang di wilayah taman nasional Taka Bonerate Selayar.
Menjual keindahan nama kawasan nasional yang terlindungi ini, tidaklah begitu susah, pasalnya keindahannya memang di akui dunia. Belum lagi keindahan bawah laut yang merupakan salah satu taman laut indah di dunia.
Bagi orang luar selayar, sangatlah mudah bila ingin melihat dokumentasi keindahan tersebut, tinggal menggunakan kemajuan iptek melalui dunia maya, semua tergambarkan. Dan bila seseorang dengan sengaja mencari obyek tujuan wisata bahari dan mencarinya di internet maka Kawasan nasional takabonerate adalah obyek wisata yang sangat menggiurkan untuk di kunjungi.
Ini merupakan peluang usaha dibidang pariwisata, yang hingga saat ini belum terjamah secara maksimal, baik swasta maupun pemerintah. Melihat peluang ini, bagi orang selayar yang masih tergolong gaptek, memang hal ini bukanlah sebagai sebuah peluang untuk maju, sementara bagi pendatang yang telah mengenal iptek, sangat jelas akan menggunakan kesempatan emas ini.
Peluang yang bagus bagi seorang entertainer dengan competitor yang boleh di bilang tidak ada di selayar, membuat peluang ini semakin terbuka lebar. Memang tinjauannya adalah sebuah langkah nyata dalam mendukung roda gerak perekonomian dan memperkenalkan Selayar.
Kami tentu saja sangat mendukung siapapun yang bisa dan mampu berbuat untuk kemajuan daerah kami, setidaknya berbuat yang tidak melanggar hukum atau aturan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar. Mengenai  adanya dugaan praktek travel gelap, yang mendatangkan turis ke wilayah kepulauan selayar, tanpa izin pemerintah kabupaten kepulauan selayar.
Berdasarkan data dalam sebulan terakhir, ada pergerakan oknum yang telah menjual keindahan Selayar melalui internet dengan harga jutaan rupiah per seorang turis yang tertarik datang atas tawaran jasanya. Dalam batasan ini masih benar, karena sebagai pengganti jasanya mengantar dan memberikan service selama berwisata di wilayah kepulauan Selayar. Yang perlu diluruskan adalah, apakah oknum penerima bayaran jasa ini, telah memenuhi kewajibannya kepada kabupaten kepulauan selayar, atas keindahan daerah wisata yang telah dinikmati turisnya di wilayah Selayar ? Bilakah terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan bagi turis-turis yang didatangkan dan telah membayar jasanya, bukan menjadi tanggungjawab orang selayar ?
Malah sejumlah peralatan dan perlengkapan serta akomodasi selama di wilayah kepulauan yang menjadi obyek wisatanya, disinyalir kuat adalah aset negara dan pemerintah. Bila aset negara yang berdasarkan aturannya dapat dikomersilkan.
Kemungkinannya oknum ini tidak terjerat oleh pasal pidana penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Masih untung bila tidak merugikan negara. Pemerintah Kabupaten Selayar, wajib turun melihat hal ini. Jangan keindahan Selayar di jual dan di nikmati orang luar selayar, sementara Selayar sendiri gigit jari.
Sejumlah pendapat juga tekad membenarkan ingin namanya dipublikasikan dengan alasan bertetangga dengan oknum dimaksud, membenarkan bahwa ada beberapa asset negara yang ada kawasan takabonerate telah digunakan untuk home stay termasuk sarana transportasi laut ke wilayah kawasan adalah aset negara, untuk menservice turis yang telah membayar jasa guide kepada seorang oknum yang bertugas di kawasan nasional Takabonerate. Nah, akankah hal ini hanya akan menjadi buah bibir di kantor urusan konservasi tersebut? ()

Cerita Tanim dan Alfredo di Resort Baloiyya, Selayar

Tanggal 14 Maret 2010, laut sedang teduh di beranda barat Kampung Baloiyya. Saat itu kami berada di satu resort yang dikelola oleh Mr. Bernhard, warga Jerman. Resort yang semakin berkembang. Setidaknya melihat bertambahnya jumlah cottagenya.
Saya beruntung dapat memasuki salah satu cottage menawan di selatan Selayar ini. Bersama Evi, Tandar, Ros, Harsani, Andre saya menyusuri sisi barat cottage yang eksotik ini. Ada satu pulau kecil di hadapannya. Di dekatnya (berhadapan) terdapat tiga rumah wisata yang terpisah menghadap ke barat. Di halaman cottage terdapat taman yang indah.
Di bangunan inti dalam, terdapat jejeran kursi antik, yang berbahan kayu dan bambu menghiasi ruang makan. Penataannya sangat apik dan berkelas. Lampu-lampu gantung dan ornamen bergelantungan. Di sebelah timurnya ada t-shirt shop atau merchandise wisata. Saat kami datang, Pak Bernhard tidak sedang di Baloiyya.
Bertemu Mustanim
Kami menuruni sisi utara bangunan restoran dan segera menuju “open area”, saya menyebutnya beranda Cottage Baloiyya. di sana terdapat meja ping pong, lantai kayu yang menyerupai panggung kecil lebih tinggi dari hamparan pasir putih di dekatnya. Juga ada ayunan tidur (hammock). Kesan pelaut tergambar dari dua kemudi yang menempel di bangunan tempat mereka menyimpan peralatan selam.
Di sebelah kanan, beberapa kru sedang istirahat. Mereka ada tiga orang sedang bersenda gurau. Ada juga tempat tidur berayun yang terikat di dua batang kelapa (hammock). Di panggung kami diterima Mustanim. Dia adalah dive master dan merupakan guide selam di resort ini.
Rupanya, Mustanim atau Tanim adalah sahabat senior saya di Kelautan Unhas yang juga master dive professional berlisensi B1, yakni Muchsin Situju. Kami disambut dengan sukacita. Kami peroleh keramahan dan cerita petualangan yang menakjubkan dari seorang profesional seperti Tanim.
Menurut Tanim, Resort Baloiyya, mempunyai dua dive spot utama yaitu Ngapaloka di pantai timur Selayar dan di sekitar cottage di sisi barat yang masih kaya biota.
Sebelum bekerja di resort ini, Tanim dulunya adalah karyawan di Popsa, Makassar. Dari sinilah dia mengenal olahraga selam. “Ada yang mengajari saya waktu itu, namanya pak Kurdi dan Jan” katanya. Setelah mulai akrab dengan olahraga air ini, dia kemudian menjadi dive guide di Kepulauan Wakatobi setelah diorbitkan oleh pak Jan.
“Saya hampir enam tahun di Wakatobi. Pada waktu antara tahun 1997-2005″ kata Tanim. Pemilik catatan selam 20.000 kali dan berlisensi A4 PADI ini merasa senang karena dapat kembali bekerja di Selayar, tanah kelahirannya. Tanim beristrikan pegawai pada Dinas Pariwisata, Selayar.
Sebelumnya, dia juga sempat membawa kapal wisata milik Andi Ilhamsyah Mattalatta. Kerap melakukan perjalanan dan penyelaman seperti di pulau wisata Kapoposang, Pangkep.
“Saya aslinya pulau Tambolongan” Katanya lagi. Tambolongan adalah pulau di sisi timur Selayar dekat Kayu Adi. Pekerjaannya di Popsa, membuatnya berkenalan dengan Pak Kurdi. Dari Pak Kurdi inilah dia memperoleh teknik-teknik penyelaman. Dia juga menyebutkan beberapa nama yang punya perhatian pada wisata bahari Makassar seperti, Pak Muhtar. Dia juga kenal Januar Jaury Dharwis, ketua POSSI Makassar.
Tentang kondisi pariwisata Selayar menurut Mustanim, mestinya bisa terus digenjot. Dari sisi ekologi, kondisi perairan, terumbu karang, dan daya tarik kelautan Selayar lebih patut berbangga karena lebih baik. “Hanya saja, manajemen wisata Wakatobi lebih maju dan jor-joran” Katanya menambahkan.
Tentang kondisi lokasi penyelaman di Selayar, menurut Tanim, pantai timur memiliki “wall” atau tebing yang indah dan menantang sementara pantai barat kaya vegetasi dan jenis ikan.
Bertemu Teman Sekampung Manny Pacquiao
Di resort Baloiyya, saya berkenalan juga dengan salah seorang kawan sekampung petinju juara dunia Manny Pacquiao. Namanya Alfredo Abillard. Alfred lahir dan besar di Kampung Osmenya, Cebu, Philipina Utara. “Saya biasa lihat Manny muda main bilyard” Katanya.
Alfredo sebelumnya adalah staf pada usaha wisata Pak Bernhard di Cebu selama beberapa tahun namun usaha itu tutup sejak memanasanya konflik antara pemerintah Philipina dan pemberontak Moro.
“Saya sudah 3 tahun di Baloiyya” Katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih. Alfred dapat berbahasa Jerman, Spanyol, Inggris, Tagalog (bahasa ibu warga Philipina) bahkan kini telah berbahasa Selayar dengan para kru wisata resort ini.
“Saya senang kerja di Selayar karena aman” ucapnya. Alfred mempunyai satu kamar khusus di samping gudang resort, seperti tabung dan kompressor. Alfred sangat ramah dan punya selera humor yang bagus. Saat saya mengobrol dengannya, dia sedang rileks menikmati bir, lengannya yang atletis dihiasi tatto antik. Tatto khas anak pantai. “Lain kali datang lagi ya?” Katanya saat mengantar kami menuju exit gate sekaligus menutup obrolan berharga kami.

Berpetualang Ke Taman Laut Nasional Takabonerate


Taman Laut Nasional Taka Bonerate, merupakan atol terbesar ketiga di dunia setelah kepulauan Marshall dan Maladewa. Pengelolaannya sendiri, bernaung dibawah Departemen Kehutanan yakni, Balai Taman Nasional Takabonerate. Taman Laut Nasional Takabonerate juga turut dikelolah Pemkab Kepulauan Selayar.
Di lokasi ini, pengunjung akan menemukan hal yang sangat berbeda dari Taman Nasional Laut  Kepulauan Seribu, Bunaken, dan Wakatobi. Untuk menikmati kesempurnaan petualangan pengungjung harus siap basah. Tak perlu piawai dan bersertifikat selam, karena dengan snorkeling saja pengunjung akan bisa langsung menikmati surga bawah laut Taman Laut Nasional Takabonerare.

Pariwisata Selayar Diseminarkan

Dinas Pariwisata Seni dan Kabudayaan (Disbudpar) Kabupaten Kepulauan Selayar, bekerjasama dengan Akademi Pariwisata (Akpar) Makassar, melakukan seminar sehari soal kepariwisataan Selayar.
Rombongan Akpar Makassar dipimpin langsung Pembantu Direktur II, Dr Komang Maha Wira, di dampingi Heri Rahmat Wijaya S Sos M Par, Sainuddin SH MM, Syamsu Rijal S Sos, MPd.
Seminar awal tersebut dalam rangka penyusunan Revisi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Kepulauan Selayar Selayar, sekaligus sebagai inventarisasi Pariwisata Selayar yang akhirnya akan menuju kepada kesejahteraan masyarakat Selayar, demikian kata Ir Ma’ruf Tato, Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan.
Pembantu Direktur II Akpar, Dr Komang Maha Wira, mengatakan bahwa kalau dilihat secara distanasi Kabupaten Kepulauan Selayar, pada tahun 2005 Taman Nasional Taka Bonerate, sudah masuk kawasan pengelolaan, hanya yang perlu dipertegas jangan sampai fenomena yang ada di Kepulauan Selayar ini, sama dengan fenomena yang ada di Indonesia.

Rabu, 04 Mei 2011

Gantarang Lalang Bata, Jejak Pertama Datuk Ri Bandang di Pulau Selayar

Enam tahun lalu saat tinggal di Kota Benteng, Selayar, saya tidak pernah berpikir atau diberitahu sekalipun bahwa Gantarang Lalang Bata, adalah kampung pertama yang dijejaki oleh Datuk Ri Bandang. Penganjur Islam yang disebut sebagai orang pertama yang membawa ajaran Muhammad SAW ke jazirah selatan Sulawesi.
Saat itu yang saya tahu bahwa Gantarang Lalang Bata, satu daerah di ketinggian sebelah timur Selayar yang sarat oleh cerita mitos. Ke sananya pun harus berjalan kaki dan mendaki tebing berbatu kapur. Orang-orang yang ke sana, dianjurkan untuk “membenturkan kepalanya” dengan perlahan sebagai pertanda keselamatan. Saat itu, Gantarang Lalang Bata adalah satu kampung kecil yang masih terisolir.Untuk ke sana kita mesti mendaki tangga batu yang di kelilingi tebing rimbun.
Minggu lalu, adalah kedatangan ketiga saya selama setahun terakhir di Selayar setelah meninggalkan daerah ini tahun 2003. Secara kebetulan, saat itu kami mengadakan praktek lapang di Kampung Cini Mabela, Desa Parak. Utara Kota Benteng. Saat peserta sedang berpraktek melakukan observasi desa, saya mengajak pak Haji Ashar, Ruslan, Linda, Mastan untuk menyusuri perbukitan belahan timur.
Tidak terlintas bahwa daerah yang kami tuju adalah juga bagian dari wilayah Gantarang Lalang Bata (GLB), Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomarannu. Di pikiran saya, saat mobil sampai ke ujung jalan utama kami akan berada di puncak Selayar, puncak tertinggi. Tapi tidak, setelah berhenti sejenak di satu kampung, kami mendengar bahwa jika kami berbelok ke kanan maka di situ adalah titik menuju Gantarang Lalang Bata yang terkenal itu.
Setelah berdiskusi dengan kawan akhirnya kami putuskan ke GLB. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 waktu Selayar saat kami mulai melintasi jalan berliku dan curam. Tepatnya, pagi menjelang siang di hari jumat di bulan Desember 2009. Kita masih punya waktu satu jam untuk menengok kampung GLB.
Kami melewati jalan kecil walau sudah di aspal rapi. Di kiri jalan terdapat sungai kecil yang airnya tenang. Saat melewati beberapa meter dari belokan kanan jalan kami mulai mendapat jalan yang masih baru. Jalan beton. Di kiri kanan terlihat jurang. Masih terdapat molen campuran pasir semen. Konon beberapa waktu lalu terdapat satu mobil eskavator yang terjungkal ke jurang.
Di kiri, dari kejauhan terlihat teluk kecil, perairan yang terlihat tenang tergambar dari sela-sela pepohonan. Nampak juga beberapa batang pohon yang sepertinya baru saja dibabat, dibakar. Hitam dengan permukaan rata di sebelah kanan jalan. Mobil yang dikemudikan Pak Agus mesti bergerak cepat saat kami menikung di satu titik. Butiran kerikil dan pasir masih terlihat baru.
Akhirnya kami sampai di ujung jalan. Di sebelah kanan terdapat semacam tempat parkir. Di sana ada 10 motor bebek sedang diam. Motor ini adalah kendaraan warga yang diparkir di situ karena memang mereka tidak bisa membawa motornya ke kampung. Mobilpun kami parkir. Di kiri sekali lagi terlihat tebing curam.
Kami lalu mengikuti seorang warga yang sepertinya dari kota dan membawa barang bawaan menaiki tangga alam, menaiki tangga kapur alami yang dijejali akar-akar pohon dan semak-semakin melingkar. Ada sulur-sulur pohon bergelantungan. Pertanda masih alami.
Haji Ashar di depan, diikuti Linda lalu Mastan. Saya dan Ruslan masih terperangah menyaksikan pemandangan indah di kiri kanan kampung. Saya segera onkan kamera mendokumentasikan pemandangan di kiri kanan titik itu. Ruslan duduk mengaso sesekali mengisap segaretnya, terlihat lelah.
Hingga beberapa jenak, kamipun menyusul kawan-kawan. Setelah berjalan sejauh 30 meter kami melewati pekuburan tua. Nisan berwarna seragam dari batu alam. Ada beberapa kuburan yang sudah tidak utuh. Pada dua kuburan yang terlihat cukup besar kami saksikan seorang nenek tua berbaju biru muda lengan panjang. Wajahnya terlihat berpupur. Dia sedang duduk santai. Matanya menatap kami yang berjalan ketengah kampung. Ada dua area kuburan yang kami lewati sebelum sampai ke mesjid tua yang hendak kami tuju.
Kami melewati sekumpulan warga yang sedang kerja membangun panggung pesta keluarga. Kami tersenyum dan mereka juga menyambut dengan senyum. Kami terus ke timur dan sebelum sampai ke mesjid tua kami mendapati satu meriam tua teronggok di atas beberapa bongkahan batu karang tua. Mesjid yang kami tuju atapnya warna hijau tua seperti lazimnya model mesjid tua di tanah Jawa. Terdapat dua lapia atap yang kini terbuat dari seng itu.
Dindingnya terbuat dari batako, sepertinya hasil renovasi. Di kiri mesjid terdapat teras. Inilah mesjid pertama Mesjid Awaluddin,Gantarang. Di belakang mesjid terdapat ruangan luas, sepertinya bangunan tambahan. Di selatan terdapattempat wudhu. Bangunan inti mesjid yang berukuran kurang lebih 8×10 meter ini masih terkesan asli. Terdapat tujuh belas tiang penyangga. Empat diantaranya menyangga puncak mesjid yang berbentuk kubus. Kayu penyangganya terhubung dengan pasak kayu.
Di tengah terdapat satu kayu penyangga, lurus ke puncak kepala mesjid. Jika dihitung jumlah tiang termasuk tiang tengah adalah 17 batang. Ada yang bilang ini persis sama dengan jumlah rakaat shalat.
Setelah melihat sekitar mesjid, dan mengawati bagian dalam Haji Ashar menuju tempat wudhu. Beliau siap shalat sunnat. Setelahnya, saya juga melakukan hal sama, shalat sunnat mesjid. Lalu diikuti Mastan dan Ruslan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.10 waktu Gantarang.
Terasa ada nuansa magis saat mengamati bagian dalam mesjid. Di dekat mimbar khatib terdapat dua kain warna putih, yang dibuat berpasangan selurus arah mimbar. Menurut cerita, ada kepercayaan atau semacam keyakinan bahwa saat ada pembacaan khutbah, “pengaruh” Rasulullah “menyesap” ke dalam alur dan proses khutbah itu.
Selain itu, tiang tengah mesjid yang menopang puncak atap mesjid ujungnya sudah terkelupas. Seperti ada yang sengaja mengelupasnya. “Ada yang percaya bahwa itu mengandung berkah” Kata seorang kawan.
Tidak cukup kami menghabiskan waktu di mesjid, kami lalu bergerak ke arah titip yang oleh warga setempat disebut sebagai “possi tana”. Tempatnya agak di ketinggian, di sana, yang dicirikan oleh batuan kapur tua, terdapat lubang kecil sedalam 20 meter yang di atasnya terdapat palang kayu. Inilah yang dipercaya sebagai pusat bumi.
Diantar pak Iskandar, imam Mesjid Awaluddin kami menuju satu kubu kuburan “kecil”. Panjang antara kedua nisan tidak sampai 50 meter. Inilah yang dipercaya sebagai kuburan Dato Ri Bandang itu. Sekilas tidak ada yang istimewa namun, terkesan bahwa kuburan ini dibiarkan begitu saja. Dibiarkan apa adanya. Tidak ada pagar atau sesuatu sebagai penanda. Di sampingnya terdapat pohon besar dan tua.
Juga tidak ada bukti-bukti tertulis atas segala fakta yang kami temui di tempat ini, di Gantarang. Jika membandingkan sejarah lontarak dan berbagai vesri yang menyebutkan bahwa tahun 1605 Masehi, adalah tahun pertama kalinya, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo Gowa. Itu setelah masuknya Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Versi warga Selayar terkhusus di Gantarang menyebutkan bahwa di Gantaranglah, kali pertama Abdul Makmur alias Datuk Ri Bandang asal Kota Minangkabau menjejakkan kaki. Saat dimana dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan.
Ada hal lain juga, bahwa masih tidak jelas hubungannya antara Dato Ri Tiro yang terkenal di Bulukumba dan Datuk Ri Bandang yang disebut berdiam di Gowa. Faktanya, terdapat beberapa kampung seperti Gantarang di Bulukumba dan Gantarang di Selayar.
“Konon, menurut cerita warga, setiap ada kampung bernama Gantarang, itu berarti pernah dilalui oleh Datuk Ri Bandang” Kata Ruslan, menirukan warga soal kisah Datuk Ri Bandang. Saya juga pernah dengar ada gosong pasir di Taman Nasional Taka Bonerate bernama Taka Gantarang. Sungguhkah itu? Juga di Bulukumba.
Namun demikian jika membaca sejarah versi H. Syaiful Arif, SH dkk dalam buku “Jelajah Pemerintahan & Pembangunan Selayar, Tumanurung – Akib Patta”, yang (kemudian saya ajak berbincang saat bertemu di Bandara Aroeppala hari jumat tanggal 4), Selayar menyebutkan bahwa tahun 1604 merupakan tahun tahun masuknya Agama Islam di Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang yang pada masa itu ditandai dengan Islamnya Radja Gantarang Pangali Patta Radja, dan diberi nama oleh Datuk Ri Bandang “Sultan Alauddin” tahun 1605. Pastinya, banyak versi terhadap ketepatan akan 1605 sebagai tahun masuknya Islam ke Selayar. Persis sama dengan apa yang ditulis di Lontarak.
Menurut pak Syaiful juga, ada beberapa kawasan atau daerah yang bersekutu dan menjadi daerah utama siar islam yang menonjol belakangan dan dapat disingkat “Bontomatene”, yaitu Buki, Onto, Batang Mata, dan Tanete. Keempatnya merupakan wilayah yang menjadi pusat-pusat perkembangan wilayah termasuk syiar islam, yang meneruskan siar pertama di Gantarang Lalang Bata itu. Ini masih bersifat tafsir sejarah.
Saat kami berpikir pulang, ada beberapa kesan yang terbersik dari kunjungan ke Gantarang ini. Jika memang benar Dato Ri Bandang datang ke Gantarang, bisa jadi beliau datang dari arah timur. Dari titik di tengah kampung, menurut Imam Iskandar, terdapat dua jalur jalan setapak yang mengarah ke bukti dan tembus ke pantai.
Agak sulit membenarkan jika Dato datang menetap di Gantarang, Selayar dari barat karena di situ adalah jurang terjal, kalaupun membaca perkembangan kampung, terdapat tiga area kuburan yang terdapat “di belakang” kampung. Adalah tidak lazim jika jalur lalu lalang pada saat itu adalah pekuburan. Jalan yang kemudian menjadi jalan utama menghubungkan Gantarang Lalang Bata dengan ibu kota Kabupaten Selayar, Benteng. Wallahu a’lam bissawab.
Pukul 11.30 kami menuruni jalan setapak di Kampung Gantarang Lalang Bata, kami bergegas menuju Kampung Cini Mabela untuk melaksanakan shalat jumat berjamaah.

Ningsih, Darah Ayu Bumi Tanadoang

 














































Sejak keberadaanya, masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar dikenal religius dan sangat menjunjung tinggi adat-istiadat, norma, serta etika di dalam menjalani rutinitas kehidpan kesehariannya. Penggunaan jilbab di kalangan gadis Bumi Tanadoang merupakan salah satu indikatornya. Senyum tulus, kelembutan, yang disertai dengan keramah tamahan, menjadi ciri khas darah ayu Kabupaten Kepulauan Selayar dari masa ke masa. 

Liang Dusun Polong, Desa Bungaiya, Kecamatan Bontomate'ne

Melintasi areal Dusun Polong, Desa Bungaiya, Kecamatan Bontomate'ne, Kabupaten Kepulauan Selayar para petualang dan penjelajah alam akan disuguhi dengan pemandangan nyiur melambai di sepanjang bibir pantai menuju dermaga ferry Pamatata, di ujung utara ibukota Benteng.
Selain itu, para pengunjung juga dapat menguji adrenalling dengan menjelajahi Liang Polong yang tepat berada di lingkungan SD Tajuiya.    

Menjejal Sejarah La Tenri Dio


Pulau Selayar, di ujung selatan Pulau Sulawesi penuh daya tarik. Selain karena terpisah dari daratan utama, juga karena kekhasan bahasa, budaya dan induk etnis yang mendiami pulau yang juga dikenal sebagai Tana Doang. Secara geomorfologi dan karakter kebudayaan, walau terpisah, warga Selayar dan Bira di seberang yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bulukumba nyaris serupa.
Dahulu, Pulau Selayar merupakan tempat persembunyian atau pelarian bagi lawan-lawan politik keluarga kerajaan Gowa, Bone dan beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Di beberapa pulau kecil, seperti Bonerate, Jampea hingga Kalao Toa malah merupakan persembunyian para pasukan Buton dan kerajaan dari Sulawesi Tenggara lainnya, bahkan Nusatenggara.
Jadi, tidak heran jika di sana, pengaruh etnik Makassar, Bugis, Buton bahkan Mandar sangat terasa.
Kita dapat mengenal nama-nama warga Selayar yang bergelar Andi, Karaeng, Opu, Daeng dan Ince bahkan beberapa tokoh penting, baik pengusaha, birokrat dan tokoh panutan warga malah merupakan akulturasi warga keturunan Cina dan Makassar atau suku lainnya. Bukan hanya saat ini tetap jauh sebelum lahirnya Indonesia.
Bahkan beberapa warga yang saya wawancarai Selayar menyebutkan bahwa pluralitas dan sikap egaliter mereka sekarang ini sangat dipengaruhi oleh bentukan sejarah para pendatang dari Gowa dan Bone. Eksodus yang membutuhkan pencerahan dan kebebasan politik saat itu.
“Banyak keluarga raja-raja di Selayar dulu yang menikah dengan wanita-wanita keturunan pendatang dari tanah Tiongkok” Kata Sarbini yang mengantar saya menyusuri kampung-kampung pedalaman kala itu. Bisa jadi benar, pada beberapa kesempatan saya berkenalan dengan warga Selayar yang bergelar Andi namun matanya terlihat sangat sipit.
Selayar merupakan tempat persinggahan para pedagang beberapa abad silam dari daratan Tiongkok (Cina). Bukti peninggalan nekara gong dan jangkar raksasa di Kampung Padang adalah salah satu bukti sejarahnya.
Mengunjungi Selayar berarti mengunjungi kawasan yang mempunya daya tarik dan magis kebudayaan purba (seperti Komunitas Ito Toweq di selatan Kota Benteng), komunitas ini dikenal pernah tinggal di bukit-bukit dan menyimpan mayat di gua batu. Juga, juga eksotisme sumberdaya alam yang masih belum sepenuhnya terjamah, pesona bahari, pegunungan yang dingin dan asri, dan keragaman vegetasi darat laut.
Selayar seperti cabang-cabang sejarah yang dibentuk dan diadaptasi oleh lingkungan khas kepulauan. Banyak sekali peninggalan sejarah yang sangat menarik untuk diteliti oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya adalah kisah Datok Ribandang di Gantarang, Hikayat Tenri Dio yang disebut sebagai anak turunan Sawerigading. Peninggalan sejarah seperti kuburan-kuburan di gua, nekara, jangkar raksaaa dan lain sebagainya. Ada beberapa catatan tentang kisah nekara dan jangkar raksasa ini.
***
Tanggal 28 Mei 2010, ditemani oleh Sarbini alias Ben, kami menyusuri sisi timur Kota Benteng, ibukota Selayar. Hal pertama yang ingin saya lihat adalah mengunjungi Kampung Huluk yang dari sana, dapat memandang hamparan laut bagian timur dan barat Selayar.
Dalam perjalanan, dengan tak terduga saya melewati beberapa kuburan tua. Bukan kuburan dengan nisan di utara, atau menghadap kiblat layaknya kuburan yang jamak dijumpai di Selayar tetapi nisan dan terlihat sebagai kuburan yang dibangun sebelum datangnya ajaran Islam ke Bumi Tana Toang.
Beberapa kuburan yang saya temui adalah yang bergelar kuburan si “Lelaki Berdarah Putih” di sisi kiri jalan menuju Huluk. Beberapa meter dari situ terdapat satu makam di ketinggian persis di kanan jalan.
“Itu adalah kuburan I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio atau biasa di sebut La Tenri Dio, anak Sawerigading. Menurut bahasa setempat disebut Si Yang Tak Mandi” Kata Pak Usman yang kami jumpai di Rea Rea.
Sawerigading, bagi sebagian warga Luwu atau Sulawesi Selatan dikenal sebagai tokoh penting yang diceritakan dalam kisah La Lagaligo. Orang mengenalnya sebagai sosok luar biasa dan mempunyai kekuatan digdaya. Sawerigading seperti dikutip dari cerita La Galigo bersaudara dengan We Tenriabeng. Sawerigading dikisahkan pergi berlayar dan berkeliling di beberapa pulau bahkan sampai ke negeri Tiongkok.
Bertahun-tahun kemudian, dikisahkan dia punya anak seperti yang diyakini beberapa warga Selayar yang kemudian singgah dan menetap di Selayar. Itulah Tenri Dio.
Di kompleks makam mini yang saya lalui itulah terdapat kuburan La Tenri Dio, anak Sawerigading. Ada empat kuburan, ada kuburan kecil yang tidak jelas siapa di dalamnya, yang satunya adalah kuburan Tenri Dio, Suaminya dan kuburan di dekat jalanan menurun, atau dikenal sebagai Si Yang Bersuara Besar atau Gallarrang Bakka Sa’ra.
“Tenri Dio dikenal sebagai seorang yang sangat disayangi oleh Tuhan dan bahkan tanpa mandipun tetap sehat dan kuat. Saat berkuasanya Tenri Dio, padi belum ditumbuk tetapi dikupas, coba bayangkan berapa lama mereka mengupas beras itu,” Kata Pak Usman.
“Memahami kisah La Tenri Dio tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman komunitas di Kampung Tana Tappu, dan tumbuh kembangnya wilayah kerajaan Puta Bangun dan bagaimana kerajaan itu bermula dan berkembang,” Kata Pak Usman. “Di sekitar makam konon terdapat meriam yang telah tertata dengan baik untuk menghalau musuh dari ketinggian wilayah Selayar,” Katanya lagi.
“Pun pemilihan kawasan Puta Bangun sebagai pusat kerajaan di Selayar karena tepat di tengah-tengahnya Selayar,” Kata pak Usman yang saat itu sedang menunggu waktu shalat Jumat di Rea Rea.
“Saat Kampung Gantarang telah dimasuki ajaran Islam, kawasan Puta Bangun belum masuk Islam. Ada beberapa kampung yang menunjukkan beberapa bagian yang berfungsi sebagai tempat mengikat babi,” Kata Pak Usman
La Tenri Dio adalah anak tengah dari Sawerigading, yang menguasai wilayah Selayar. Dia menuju Selayar setelah mendapat izin dari orang tuanya untuk mengembara dan mengembangkan kekuasaannya. La Tenri Dio bersuamikan Lalaki Sigayya. Inilah yang mengisi kuburan di sebelah selatan atau di kaki kubur La Tenri Dio. LaTenri Dio dan keluarga tinggal di Puta Bangun. Itulah cikal Kerajaan Puta Bangun yang tertua di Selayar.
Kini makam, La Tenri Dio, Lalaki Sigayya dan Gallarrang Bakka Sara sedang direnovasi oleh salah satu kontraktor dari Benteng. Mereka memasang paving blok dan pagar batu saat saya sampai di sana.
Tidak banyak cerita atau kupasan sejarah tentang kiprah La Tenri Dio karena peninggalannya belum dikaji secara mendalam. Padahal ada beberapa yang menarik diantaranya, model kuburannya yang bernisan laksana layar. Lumut yang memadat di nisan dan batu kuburan terlihat terang karena semalam hujan. Jarak kuburan juga sangat panjang hingga lima meter dengan batu-batu alam yang kuat. Dari sini terlihat pemandangan Pulau Selayar hingga jauh ke selatan.
Di ranah keragaman budaya atau kandungan makna nukilan kisah purbakala, kuburan yang diyakini milik La Tenri Dio ini masih pantas untuk dikaji ulang, setidaknya mencari pertautan hubungan antara defenisi purba, sejarah, dan situasi kontemporer. Jika melihat fakta bahwa warga masih menyimpan harapan kepada kuburan itu dengan berdoa dan menaruh sesajen dapat disebut bahwa pertautan kisah dan sikap warga jelas berkaitan.
Jika benar, pemerintah kabupaten Selayar atau pihak-pihak yang selalu menasbihkan diri sebagai pemerhati sejarah, seperti perguruan tinggi, atau LSM yang peduli kearifan lokal, maka kisah dan peninggalan kuburan La Tenri Dio ini merupakan tantangan untuk mempertegas keunggulan budaya lokal itu. Hal yang selalu mereka perjuangkan.
Bagaimana pun, sejarah seperti kisah tertulis dan tutur warga itu sangat berpengaruh pada situasi kontemporer warga. Seperti yang saya lihat saat datang ke sana, beberapa warga masih menyimpan telur, sesajen dan kemiri. Entah apa yang mereka harapkan. Ada yang tertarik menggali lebih dalam kisah menarik ini?

Liang Tajuiya, Kecamatan Bontomate'ne

Kabupaten Kepulauan Selayar adalah satu pulau yang dalam sejarah geologi disebut daratan muda atau pulau yang terbentuk belakangan. Di sana terdapat beberapa titik di daratan utama yang membentuk lubang atau gua karena adanya patahan atau retakan di dalam perut pulau.
Hal ini dapat dianalisa jika melihat pola dan situasi di sekitar patahan atau longsoran muka pulau. Salah satunya adalah kolam mata air Tajuiyya yang terletak di sekitar 35 kilometer utara Kota Benteng, ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar.
Mata air Tajuiyya merupakan sumber air bagi warga dua kampung sekitarnya yaitu, Tajuiyya dan Kampung Bau.Tahun 1997 saya pernah berkunjung ke tempat ini bersama sahabat saya Kemal R. Massi. Saat itu masih sangat alami. Kami hanya berani melihatnya dari atas karena tak berani turun ke dasar kolam.
Bagi pengunjung yang pernah menapakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Selayar melalui Pelabuhan Ferry Pamatata, maka anda dimungkinkan untuk berkunjung ke liang Tajuiyya yang berjarak sekitar 10 kilometer dari pelabuhan fery. Mata air yang dalam karena untuk mengambilnya warga harus menuruni anak tangga beton sebanyak 45 anak tangga. Berkelok, terjal pula. Untuk melihat airnya kita pun harus menuruni jalan batu. Letaknya di sisi utara gua. Airnya tidak terlihat dari tangga.
Saat sampai ke ujung tangga, saya masih harus menuruni batu-batu karang purba. Mesti hati-hati karena licin. Di atas gua, menggantung ribuan kelewar yang bercicit dan kepakkan sayap silih berganti. Bau amis kotorannya menyeruak ke mana. Kotoran berjatuhan di atas batu kapur. Saat menuruni bebatuan, kami melewati satu cangkang kima raksasa (jenis Tridacna gigas), panjangnya sekitar 30 centimeter. Terbalik. Sepertinya dasar gua merupakan permukaan pulau yang anjlok. Di ujung longsoran, di situlah letak mata air tersebut.
Setelah menuruni lagi hingga 10 meter, akhirnya kami sampai di sumber air. Di sisi tebing telah terpasang satu pipa besi bercat biru, diameternya kira-kira 10 cm. Di ujungnya teldapat mesin penyedot air. Tapi dasar kolam yang terisi air tidak terlihat luas. Entah jika ada terowongan bawah tanah yang menjadi kolam lanjutan tapi tidak terlihat.
Saya menaksir runtuhan batu kapur ini berdiameter sekitar 20 meter. Di ujung jatuhannya di sebelah selatan membentuk mata air. Beberapa meter dari mata air ini menjulang beberapa pohon tinggi di dalam area kolam Tinggi sekali, kira-kira 30 meter. Karena tinggi dan rimbunnya dia nyaris menutup cahaya matahari masuk ke dasar.
Di situlah warga selama ini, sedari dahulu mengambil air untuk makan dan minum. Saat saya baru saja lepas dari ujung tangga atas, seorang ibu dengan hanya mengenakan sarung batik, dengan perlahan menuruni tungga. “Dia hendak mandi, namanya Ibu Pittirik” kata Ibu Minah yang saya temui bersama saudaranya bernama Saritang. Mereka berdua terlihat kembar.
Konon, menurut seorang teman, mata air Tajuiyya ini bersambungan dengan perairan di pantai timur, atau barat Selayar. “Pernah didapati kain serupa bendera, juga daun-daun lamun” kata Sarbini, seorang kawan di Benteng mengenai mata air itu.
Bertahan Sampai Kapan?
“Sekarang musim hujan, jadi kurang air” Kata Minah. Wanita yang saya temui di sana. “Tapi mesin pengatur air menderu terus?” Kataku sambil menunjuk mesin blower yang mendistribusikan air ke dua kampung berdekatan. Rupanya, dugaan saya meleset. Mesin pompa itu melayani kampung-kampung sekitar Tajuiyya, bahkan sampai Pelabuhan Pamatata.
Kami sampai di Tajuiyya, sekitar pukul 17.00. Kami hentikan mobil tidak jauh dari pohon tinggi besar dengan diameter hingga 2 meter. “Namanya kayu erasa. Sejak saya lahir mungkin begitu memangmi besarnya” Kata Minah dengan logat Selayar kental.
“Jika dulu mengambil air di kolam sebanyak dua kali, sekali pagi sekali sore. Kini tidak lagi karena sudah ada PAM” Katanya lagi. Dahulu, dia membawa ember yang digantung di ujung kayu. Mereka bersaudara sebanyak enam orang. Di rumah, Saritang bertiga dengan ibu dan suaminya sementara Minah, suami dan anak-anaknya.. Sekarang dua anggota keluarga tersebut memanfaatkan air dengan leluasa.
“Dulu untuk ke kolam kita melewati tangga kayu, sebanyak 34 baringang” Kata Saritang. Baringang adalah anak tangga dalam bahasa Selayar. Mereka tingga di Kampung Bau, kampung yang tidak lebih dari 40 rumah. Air yang mereka ambil selama dua kali sehari itu digunakan untuk masak dan minum. Kalau mau mandi, mereka mandi di sekitar gua.
Tapi sejak dibangunnya instalasi pendistribusian air oleh PDAM setempat mereka tidak lagi mengambil air. Hanya beberapa orang yang tinggal dekat kolam seperti Pittirik tadi. “Perusahaan air ini sudah berjalan dua tahum” Kata Minah. Dia harus membayar rata-rata 13ribu hingga 15ribu sebulan. “Biaya bebannya ada 5ribu” Katanya lagi. Mereka membayar di kolektor lokal bernama Daeng Mangngai.
Ada yang menarik dari ucapan Saritang dan Minah. “Rupanya air yang diambil dari keran PAM tidak sejernih dan setawar jika mengambil langsung di kolamnya”.
“Belakangan ini airnya, mulai agak asin. Apalagi musim kemarau” Katanya. Karena itulah mereka kerap mengambil lanngsung ke dasar kolam. Sebab mereka percaya, dengan mengambil langsung itu akan lebih baik. “Jumlah pemanfaat mata air yang semakin banyak apalagi dipaksa dengan mesin penyedot pasti akan berdampak pada kualitas air” Kata Evi, warga Benteng yang menemani saya ke Tajuiyya.
Bagi saya, ada kekhawatiran teramat besar atas pemanfaatan air Tajuiyya untuk dieksplorasi oleh PDAM setempat. Penggunaan air yang terus menerus, tanpa kontrol, apalagi dengan volume besar, lambat laun akan berdampak pada ekologi setempat. Saat populasi penduduk semakin bertambah sementara sumber mata air tetap sama kandungannya dan disedot tanpa kontrol saya yakin dapat membuat labil lapisan di bawahnya dan longsor susulan dapat saja terjadi. Jika demikian siapa yang bakal dirugikan?

Makam La Tenri Dio

Makam Tua Silolo, Desa Lalang Bata

Makam ini merupakan makam seorang putri yang berkuasa pada abad 17-19 M di Silolo. Putri tersebut selama masa pemerintahannya dikenal sebagai pemimpin yang baik hati, jujur, bijaksana dan kharismatik sehingga sangat disegani dan dicintai oleh masyarakatnya.

Gong Nekara Matalalang 2

Jauh sebelum masa pemerintahan Bupati Selayar, Drs. HM. Akib Patta, Gong Nekara dulunya disimpan di rumah adat Sapo Tallu Matalalang yang secara geografis berada di dalam wilayah pemerintahan Kelurahan Bonto Bangung, Kecamatan Bontoharu.  

Beduk Masjid

Beduk Masjid di Kabupaten Kepulauan Selayar tempo doeloe pada umumnya terbuat dari bahan baku kulit kambing, sapi atau kerbau yang disembelih warga masyarakat saat hari raya lebaran atau pun hajatan pesta pernikahan keluarga.

Gong Nekara Matalalang





Proses Penyelamatan & Pembersihan BCB di Rumah Jabatan Bupati Kepulauan Selayar

Harta Karun Perairan Sangkulu-Kulu, Desa Patikarya

Keris Pusaka Peninggalan








Peti Tua Milik Warga Dusun Pa'batteang Atas Nama Sadaruddin

Lemari Kayu Tradisional di Dusun Pa'batteang






Panci Tanah Tradisional Buatan Masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar

Panci tanah tradisional ala masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar ini dapat dijumpai di Dusun Bontoyya, Desa Lalang Bata, Kecamatan Buki. Panci semacam ini kerap digunakan masyarakat  pedalaman Bumi Tanadoang untuk mengukus ketupat, burasa, dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, maupun penyelenggaraan hajatan pesta pernikahan. 

Jam Tua di Rumah Kepala Dusun Pa'batteang

Benda Cagar Budaya di Dusun Pa'batteang, Desa Lalang Bata



Lampu Gantung di Ex. Kantor PT. Selayar Utama Coorporation (Jl. S.Siswomiharjo)


Meriam Batu Embayya, Ri Buki 2

Meriam Batu Embayya, Ri Buki



Memasuki pintu gerbang,  Desa Buki, Kecamatan Buki, Kabupaten Kepulauan Selayar, para petualang dan pencinta benda cagar budaya bisa menjumpai Meriam Batu Embayya Ri Buki. Salah satu meriam ini masih dalam kondisi tertanam di tanah, tepat di belakang rumah tua, Desa Buki.